Kalau saja kaki Bima mempunyai kemampuan berteriak, maka dunia akan mendengar suara lebih dari sembilan puluh desibel yang berasal dari keluhan sang kaki, sedaritadi bekerja tak henti padahal sudah berdiri selama empat jam tanpa istirahat.
Pelanggan terakhir hari ini, semoga aku nggak mati.
Batin Bima penuh harap.
Menjadi seorang tattoo artist memang bukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Untuk sampai di titik sekarang pun, Bima bertekad harus mempunyai sertifikasi yang berjumlah lebih dari lima, mengikuti seminar dan pelatihan dimana-mana, serta gagal yang tak luput dari pengalaman pun sering menyapa.
Sebenarnya, tidak se-ekstrim itu. Memang pribadi Bima yang terlalu ambisius.
Namun sifat ambisiusnya itu tidak selalu membawa dampak buruk, berkatnya, Bima menjadi seorang tattoo artist termahsyur di kotanya, laman akun instagram milik Bima juga sudah menyentuh angka lebih dari dua ratus ribu pengikut.
Bima adalah definisi manusia sempurna, kata orang. Dirinya pun sering mendengar langsung kalimat seperti itu, sambil diiringi pujian-pujian yang kadang terkesan berlebihan, yang hanya diangguki dan dilempar senyuman olehnya.
Sebagai tattoo artist, sebagian orang membayangkan bahwa ia dipenuhi tattoo di sekujur tubuhnya.
Salah besar.
Bima hanya mempunyai dua tattoo, di bisep tangan kanan dan di dada tepat di bawah tulang selangka. Biasanya studio tattoo-nya melayani rata-rata empat sampai lima pelanggan setiap harinya. Namun entah mengapa, hari ini dua kali lipat lebih banyak. Bima sempat berpikir apakah jumlah orang masokis di dunia makin bertambah setiap harinya?
Si Gemini akhirnya menaruh jarum tattoo-nya.
Sudah selesai. Pelanggan terakhir sudah selesai.
Bima bertekad dalam hati bahwa segera setelah wanita berambut pendek ini keluar dari studio, ia akan langsung menutup pintu dan langsung tidur di sofa.
Biasanya, Bima tidak tidur disana, ia masih memiliki kamar kos berukuran lima kali lima meter untuknya pulang. Tapi hari ini, untuk sekadar berjalan ke halte bus rasanya Bima sudah tidak kuat.
Kakinya kebas dan kaku, hasil berdiri selama empat jam. Sebab sang pelanggan wanita bertubuh kecil, letak tattoo yang diinginkan pun agak ekstrim—di pinggul belakang sebelah kanan. Mau tak mau untuk mendapatkan hasil tattoo yang sempurna, Bima harus merelakan kakinya menahan rasa lelah karena berdiri selama pengerjaan.
Cari uang memang susah, tapi Bima tak peduli, yang penting ia bisa punya apartemen di gedung baru berlantai tiga puluh yang terletak di pinggir kota.
Setelah sang pelanggan wanita sudah selesai bertransaksi, Bima segera menutup pintu dan tirai hitam studionya. Lagipula besok minggu, jadwalnya libur. Bima kembali bekerja di hari senin.
Lelaki itu tak mampu membersihkan studionya lebih banyak, hanya membuang jarum sekali pakai, mensterilkan alat-alat yang digunakan kembali nanti, serta mengunci pintu.
Bima hanya ingin terlelap. Bima hanya ingin lelahnya pergi.
Tapi Bima rasa tidak semudah itu.
Entah kenapa, suara pintu dibuka tiba-tiba tertangkap indra pendengaran Bima. Diikuti suara seperti barang-barang berat diangkat, diletakkan, dan diseret. Suara tersebut cukup keras untuk sampai ke telinga sang tattoo artist, sepertinya berasal dari sebelah kanan studio.
“Orang gila mana sih yang pindahan jam sebelas malem? Sinting.” omelnya sambil menutup telinga dengan bantal.
Lelaki itu bisa tahu orang tak tahu diri itu sedang pindahan sebab kios di sebelah kanan studio Bima memang sudah sebulanan kosong melompong.
Bima memang dijuluki Si Bisa Apa Saja, namun jika harus mendengar suara berisik saat ia hendak tidur, rasa-rasanya ia juga tak punya kuasa.